Selasa, 24 Mei 2011

KESERASIAN BERPIJAK DI DUA ALAM

I.                    PENDAHULUAN

Dulu anak-anak suku Bajo hanya terkenal jago berenang dan menyelam. Sekarang, adu lari pun mereka tidak kalah. Ungkapan sederhana itu seolah mewakili gambaran metamorfosa kehidupan warga Bajo Berese saat ini yang sudah 55 tahun lebih hijrah ke daratan. Sebelumnya selama berabad-abad, nenek moyang mereka, seperi suku Bajo lainnya hidup mengembara di laut lepas dengan perahu-perahu kecil beratap daun nipah bernama “soppe”.
Gaya hidup suku Bajo yang tersebar di seluruh jazirah Sulawesi Tenggara memang sejak lama berubah, termasuk Bajo Berese. “Sudah tidak ada lagi keluarga suku Bajo yang berkelana dengan soppe di lautan”.



II.                  PEMBAHASAN

Sejak tahun 1955, warga Bajo Berese mendirikan rumah-rumah permanen dari kayu di Wabula. Rumah yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam kamus leluhur suku Bajo itu ditancapkan di laut, sekitar 300 meter dari pantai. Sebelum 1955, warga Bajo Berese hidup berkelana di sekitar perairan Kepulauan Buton dari asalnya di Bajoe, Sulawesi Selatan. Setelah lama berkelana, mereka akhirnya menemukan tempat menetap di Berese, nama sebuah wilayah kerajaan di Buton yang sekarang menjadi Kecamatan Wabula.
Puluhan tahun berlalu, kini banyak di antara rumah kayu warga Bajo Berese “naik kelas” menjadi rumah tembok dengan fondasi batu-batu karang dan urukan tanah. Perkampungan yang dulunya terpisah dengan daratan, sejak 2003 juga telah terhubung dengan dibangunnya tanggul jalan.
Wajah darat Bajo Berese semakin kental saat tiga bulan lalu jaringan listrik masuk ke wilayah tersebut. Rumah-rumah yang tadinya hanya mengandalkan penerangan minyak tanah kini sudah benderang bertaburkan neon. Di beberapa rumah bahkan terlihat antena parabola penangkap siaran televisi. Meski begitu, mayoritas dari 116 keluarga Bajo Berese tetap memilih jalan penghidupan dari melaut. “Kami tak bisa lepas dari laut. Rasanya, kalau lama-lama di darat perasaan jadi tidak enak”, ujar tetua suku Bajo Berese.
Itu pula alasan mengapa mereka masih mempertahankan permukiman terapung dan enggan hijrah total ke daratan dengan mendirikan rumah di atas tanah dan hidup dari berladang atau bertani. Bagi Bajo Berese, laut tetap menjadi rumah pertama mereka.
Salah satu wraga Bajo Berese mengatakan masih setia hidup sebagai nelayan. Dengan hanya bermodalkan kapal motor kecil seukuran sampan, ia tak gentar mengarungi lautan di sekitar Sulawesi hingga Maluku dan Nusa Tenggara Timur untuk mencari ikan. Kadang melaut hanya satu malam, kadang juga sampai 1-2 bulan. Seperti bisa ditebak, hasil melaut tak pernah menetu, jika nasib sedang bagus bisa memperoleh hasil bersih Rp. 1,6 juta dari sekali melaut. Tapi kalau nasib sedang buruk, tiga kali turun melaut tidak dapat apa-apapun pernah.
Jika dari satu kaki di lautan mereka mengais rezeki, di kaki lainnya di daratan Bajo Berese menggantungkan asa. Dengan berintegrasi ke daratan warga Bajo bisa memperoleh akses pendidikan, kesehatan, sosial, hingga akses perekonomian yang lebih luas dalam memasarkan hasil laut mereka.
Salah satu tokoh masyarakat Wabula mengatakan dengan berintegrasi ke darat, warga Bajo Berese bisa memajukan pendidikan anak-anak mereka. Dulu bisa dihitung anak Bajo yang bersekolah, sekarang hampir tidak ada yang tidak sekolah. Bahkan sudah ada juga yang sudah jadi sarjana. Warga Bajo Berese saat ini tengah menggagas pendirian sekolah dasar terapung di permukiman mereka untuk mempermudah akses anak-anak ke pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu alasan kenapa dulu Bajo Berese hijrah ke darat. Dulu para orangtua kami sadar tertinggalnya pendidikan anak-anak kalau terus hidup di laut. Sekarang kami ingin anak cucu bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya agar tidak kalah dengan warga lain.
Ketua Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Haluoleo Sultra La Niampe mengatakan, saat ini terdapat lebih kurang 200.000 warga Bajo yang tersebar di seluruh Sultra, atau hampir 10 persen dari total populasi Sulawesi Utara. Mayoritas dari mereka memang telah meninggalkan gaya hidup mengembara di laut dan terkonsentrasi di permukiman-permukiman pinggir pantai. Bahkan ada pula warga Bajo yang menekuni profesi seperti warga daratan dengan menjadi tukang kayu, buruh, aparat pemerintahan, akademisi, hingga politisi.



III.                KESIMPULAN

Pada dasarnya kemampuan adaptasi orang Bajo sangat tinggi. Kelebihan suku Bajo adalah dimanapun mereka berada selalu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Meski begitu, di tengah kehidupan baru mereka di daratan warga Bajo tidak  melepaskan identitas sebagai “orang laut” beserta berbagai tradisi dan kebudayaannya. Mereka memilih menyerasikan diri di antara buaian laut dan dekapan daratan.



IV.                REFERENSI

Kompas                                               19 Mei 2011


MERAH PUTIH DI PUCUK BUMI

I.                    PENDAHULUAN

Merayapi tangga di jurang Khumbu Icefall. Melewati longsoran salju yang selalu mengancam. Melewati udara tipis zona kematian pada ketinggian lebih dari 8000 meter diatas permukaan laut hingga meniti tali di punggung tebing Hillary Step. Akhirnya empat pemuda Indonesia berhasil mengibarkan Merah Putih di pucuk tertinggi bumi, puncak Everest (8.848 mdpl) tepat pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2011.
Inilah kado empat pendaki Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Khatolik Parahyangan kepada negeri. Keempat pendaki adalah Broery Andrew, Janathan Ginting, Sofyan Arief Fesa, dan Xaferius Frans.



II.                  PEMBAHASAN

Broery mencapai puncak Everest pada Jumat (20/5) pukul 05.22 waktu setempat atau pukul 06.37 WIB setelah berjalan tujuh jam dari Camp IV (8.504 mdpl). Dia termasuk lima orang tercepat dari 120 orang asal sejumlah negara yang malam itu mencapai puncak Everest. Sebelum mencapai puncak, Broery sempat tertahan di Hillary Step karena antrean panjang para pendaki Everest. Pemandangan dari puncak tertinggi di bumi itu menyihirnya, melupakan seluruh penat dan ketegangan selama perjalanan. “Matahari belum muncul, tapi pemandangan cerah karena bulan terang. Jajaran pegunungan Himalaya terlihat semua. Kondisi berangin, suhu minus 30 derajat celcius.
Janathan menyusul 49 menit kemudian. Ketegangan sempat mewarnai Base Camp Everest ketika dua pendaki lain, Sofyan Arief dan Xaferius Frans belum juga mencapai puncak hingga pukul 09.00
Puncak Everest selepas tengah hari pada musim pendakian Mei-April bisa sangat berbahaya. Angin kencang, suhu dingin yang bisa mencapai minus 70 derajat celcius, dan badai salju biasanya terjadi pada waktu itu. Karena itu setiap pendaki berlomba untuk mencapai puncak sepagi mungkun dan kembali turun secepatnya.
Namun ketegangan mencair ketika pukul 09.43 Frans mengabarkan telah mencapai puncak berbarengan dengan Sofyan dalam kondisi sehat. “Hidup tujuh puncak dunia,” kata Frans. Base Camp Everest pagi itu pun pecah dengan teriakan “Hidup Indonesia”. Para anggota Mahitala di Base Camp saling berpelukan, sebagian menangis.
Sani Handoko, Direktur Utama PT. Mud King Asia Pasifik Raya, anggota Mahitala yang juga penyandang dana ekspedisi, memeluk semua anggota tim pendukung di base camp. Dia juga menyampaikan terimakasih kepada para sherpa yang membantu kesuksesan ekspedisi.
Puncak Everest adalah puncak keenam yang sukses didaki. Sebelum Everest, tim Mahitala mengibarkan Merah Putih di lima puncak tertinggi bumi, yaitu Cartensz Pyramid (Indonesia), Kilimanjaro (Afrika), Elbrus (Rusia), Vinson (Antartika), dan Aconcagua (Argentina). Tinggal menjejak puncak Denali (Amerika Serikat), mereka akan menjadi orang Indonesia pertama yang mencapai tujuh puncak di tujuh benua.
Dewi langit baru membuka pintunya kepada tim Mahitala setelah dua kali percobaan. Upaya pendakian pertama pada Selasa (10/5) terpaksa dibatalkan karena cuaca buruk melanda ketika mereka tiba di Camp III (7.925 mdpl). Saat itu keempat pendaki sempat kecewa. Namun keempat pendaki Mahitala ini tak gampang patah. Mereka yakin bisa mencapai puncak Everest. Semangat itulah yang mereka tunjukkan saat akhirnya mencapai puncak tertinggi dari tujuh puncak dunia.
Pagi itu hujan salju deras mengguyur Base Camp Everest (5.364 mdpl). Dingin memuncak. Suhu minus 7 derajat celcius. Dalam balutan jaket tebal, para anggota Mahitala menyanyikan “Indonesia Raya”. Pencapaian keempat pemuda ini semoga bermakna buat negeri.



 
III.                KESIMPULAN

Kesuksesan keempat pendaki Mahitala menapak puncak Everest tidak dengan mudah di raih. Everest alias Sagarmatha yang berarti Dewi Langit dalam bahasa Nepal adalah gunung yang berbahaya. Tak ada jalan mudah ke puncak, kata Ed Viesturs, pendaki legendaris yang mencapai 14 puncak di atas 8.000 mdpl tanpa tabung oksigen. Catatan Jon Krakauer dalam Into Thin Air menyebutkan, setiap empat orang yang berhasil mencapai puncak Everest harus dibayar dengan nyawa seorang pendaki. Krakauer mengalami sendiri pahitnya pendakian Everest ketika kehilangan nyaris semua anggota timnya saat mendaki puncak gunung ini pada Mei 1996. Saat ini tingkat bahaya Everest memang berkurang. Pada musim pendakian tahun ini, dari 250 pendaki yang berupaya ke Everest, hanya tiga orang yang tewas. Everest bukan gunung yang tersulit, tetapi tetap berbahaya, tutur Hiroyuki Kuroka, pendaki senior dari Mountain Experience.
Sebagai warga negara Indonesia, keempat pendaki Mahitala telah membawa dan mengharumkan bangsanya di tingkat dunia dengan keberhasilannya mengibarkan Merah Putih di Pucuk Bumi. Satu lagi bukti nyata, kami bangga menjadi warga negara Indonesia, kami mencintai negara ini.



IV.                REFERENSI

Kompas                                               21 Mei 2011
Internet
Televisi
Sumber Berita Lainnya