I. PENDAHULUAN
Dulu anak-anak suku Bajo hanya terkenal jago berenang dan menyelam. Sekarang, adu lari pun mereka tidak kalah. Ungkapan sederhana itu seolah mewakili gambaran metamorfosa kehidupan warga Bajo Berese saat ini yang sudah 55 tahun lebih hijrah ke daratan. Sebelumnya selama berabad-abad, nenek moyang mereka, seperi suku Bajo lainnya hidup mengembara di laut lepas dengan perahu-perahu kecil beratap daun nipah bernama “soppe”.
Gaya hidup suku Bajo yang tersebar di seluruh jazirah Sulawesi Tenggara memang sejak lama berubah, termasuk Bajo Berese. “Sudah tidak ada lagi keluarga suku Bajo yang berkelana dengan soppe di lautan”.
II. PEMBAHASAN
Sejak tahun 1955, warga Bajo Berese mendirikan rumah-rumah permanen dari kayu di Wabula. Rumah yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam kamus leluhur suku Bajo itu ditancapkan di laut, sekitar 300 meter dari pantai. Sebelum 1955, warga Bajo Berese hidup berkelana di sekitar perairan Kepulauan Buton dari asalnya di Bajoe, Sulawesi Selatan. Setelah lama berkelana, mereka akhirnya menemukan tempat menetap di Berese, nama sebuah wilayah kerajaan di Buton yang sekarang menjadi Kecamatan Wabula.
Puluhan tahun berlalu, kini banyak di antara rumah kayu warga Bajo Berese “naik kelas” menjadi rumah tembok dengan fondasi batu-batu karang dan urukan tanah. Perkampungan yang dulunya terpisah dengan daratan, sejak 2003 juga telah terhubung dengan dibangunnya tanggul jalan.
Wajah darat Bajo Berese semakin kental saat tiga bulan lalu jaringan listrik masuk ke wilayah tersebut. Rumah-rumah yang tadinya hanya mengandalkan penerangan minyak tanah kini sudah benderang bertaburkan neon. Di beberapa rumah bahkan terlihat antena parabola penangkap siaran televisi. Meski begitu, mayoritas dari 116 keluarga Bajo Berese tetap memilih jalan penghidupan dari melaut. “Kami tak bisa lepas dari laut. Rasanya, kalau lama-lama di darat perasaan jadi tidak enak”, ujar tetua suku Bajo Berese.
Itu pula alasan mengapa mereka masih mempertahankan permukiman terapung dan enggan hijrah total ke daratan dengan mendirikan rumah di atas tanah dan hidup dari berladang atau bertani. Bagi Bajo Berese, laut tetap menjadi rumah pertama mereka.
Salah satu wraga Bajo Berese mengatakan masih setia hidup sebagai nelayan. Dengan hanya bermodalkan kapal motor kecil seukuran sampan, ia tak gentar mengarungi lautan di sekitar Sulawesi hingga Maluku dan Nusa Tenggara Timur untuk mencari ikan. Kadang melaut hanya satu malam, kadang juga sampai 1-2 bulan. Seperti bisa ditebak, hasil melaut tak pernah menetu, jika nasib sedang bagus bisa memperoleh hasil bersih Rp. 1,6 juta dari sekali melaut. Tapi kalau nasib sedang buruk, tiga kali turun melaut tidak dapat apa-apapun pernah.
Jika dari satu kaki di lautan mereka mengais rezeki, di kaki lainnya di daratan Bajo Berese menggantungkan asa. Dengan berintegrasi ke daratan warga Bajo bisa memperoleh akses pendidikan, kesehatan, sosial, hingga akses perekonomian yang lebih luas dalam memasarkan hasil laut mereka.
Salah satu tokoh masyarakat Wabula mengatakan dengan berintegrasi ke darat, warga Bajo Berese bisa memajukan pendidikan anak-anak mereka. Dulu bisa dihitung anak Bajo yang bersekolah, sekarang hampir tidak ada yang tidak sekolah. Bahkan sudah ada juga yang sudah jadi sarjana. Warga Bajo Berese saat ini tengah menggagas pendirian sekolah dasar terapung di permukiman mereka untuk mempermudah akses anak-anak ke pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu alasan kenapa dulu Bajo Berese hijrah ke darat. Dulu para orangtua kami sadar tertinggalnya pendidikan anak-anak kalau terus hidup di laut. Sekarang kami ingin anak cucu bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya agar tidak kalah dengan warga lain.
Ketua Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Haluoleo Sultra La Niampe mengatakan, saat ini terdapat lebih kurang 200.000 warga Bajo yang tersebar di seluruh Sultra, atau hampir 10 persen dari total populasi Sulawesi Utara. Mayoritas dari mereka memang telah meninggalkan gaya hidup mengembara di laut dan terkonsentrasi di permukiman-permukiman pinggir pantai. Bahkan ada pula warga Bajo yang menekuni profesi seperti warga daratan dengan menjadi tukang kayu, buruh, aparat pemerintahan, akademisi, hingga politisi.
III. KESIMPULAN
Pada dasarnya kemampuan adaptasi orang Bajo sangat tinggi. Kelebihan suku Bajo adalah dimanapun mereka berada selalu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Meski begitu, di tengah kehidupan baru mereka di daratan warga Bajo tidak melepaskan identitas sebagai “orang laut” beserta berbagai tradisi dan kebudayaannya. Mereka memilih menyerasikan diri di antara buaian laut dan dekapan daratan.
IV. REFERENSI
Kompas 19 Mei 2011