Hadiah kakak, Ikan Mas Koki Untuk Beni
Suara tangis Beni, adikku, terdengar sampai ke halaman depan rumah. Aku bergegas masuk dan mencari adikku yang bertubuh agak gendut itu.
“Kenapa Beni menangis ?” tanyaku yang melihat Beni menangis berguling-guling di lantai.
“Mas Beni minta dibelikan ikas mas hoki, seperti punya Ridwan, temannya,” terdengar suara Mbak Lulu, pembantu rumah tangga kami dari dapur.
Aku menghampiri Mbak Lulu. “Kenapa tidak dibelikan saja, Mbak? Daripada Beni menangis terus,” tanyaku pada Mbak Lulu.
“Uang Mbak habis, Mas Rinald! Tadi pagi, ibu terburu-buru ke kantor dan lupa memberikan uang tambahan pada Mbak,” Mbak Lulu menjelaskan.”
“Jadi, kita harus bagaimana, nih, Mbak? Beni kalau minta sesuatu pasti memaksa. Dia enggak akan berhenti nangis sebelum permintaannya dituruti.”
“Mas RInald ganti seragam saja dulu, lalu makan siang! Setelah itu, Mas Rinald coba bujuk lagi, supaya Mas Beni berhenti menangis,” saran Mbak Lulu.
Aku menuruti kata Mbak Lulu dan bergegas menuju kamarku untuk mengganti seragam sekolah.
Setelah makan siang, aku menghampiri Beni lagi. Ia masih saja menangis. Seperti kataku tadi, adikku yang satu-satunya ini, tidak akan berhenti menangis sebelum permintaannya dituruti.
“Sudah, jangan menangis lagi, Beni! Nanti kalau Kakak punya uang, Kakak belikan ikan mas koki untuk Beni,” hiburku.
“Beni maunya sekarang, Kak!” Tukas Beni sambil meraung-raung seperti singa cilik.
Aku bergegas menuju meja telepon. Aku ingin menelepon Papa yang sedang bertugas kota. Sayangnya, HP Papa susah sekali dihubungi. Selalu saja terdengar nada sibuk. Akhirnya aku memutuskan menelepon Mama di kantornya.
Aku menceritakan semuanya pada Mama. Mama lalu memberikan saran padaku. Aku mengangguk mengerti.
“Ayo, Beni, ikut Kakak!” ajakku setelah meletakkan gagang telepon.
“Kemana, Kak?” Tanya Beni.
“Kamu mau ikan mas koki enggak?”
“Mau, dong! Jadi, Kak Rinald mau membeli ikan mas koki untuk Beni?”
Aku mengangguk. Beni tersenyum sambil menghapus air matanya.
Aku mengajak Beni ke jalan Barito, tempat orang menjual dan membeli berbagai macam ikan hias. Kami lalu mampir di salah satu kios.
“Mau beli ikan, Dik?” Tanya Bapak pemilik kios ikan itu.
“Maaf ya, Pak! Adik saya ini ingin ikan mas koki!. Tapi kami tidak punya uang.”
“Loh, kalau membeli ikan, harus punya uang, dong!” tukas Bapak itu
“Kalau begitu, bolekah saya dan adik saya membantu Bapak? Kami akan bekerja membantu Bapak. Nanti upahnya dua ekor ikan mas koki saja.”
“Berapa umur kalian?”
“Saya Rinald, umur 12 tahun dan sudah kelas enam SD. Dan ini Beni adikku, umurnya 6 tahun, masih kelas dua SD,” jawabku.
“Nama saya, Pak Jaya!” Bapak itu mengajak kami bersalaman.
“Baiklah! Kalian membantu Bapak membersihkan kolam ikan saja.”
Kami lalu mengikuti Pak Jaya ke belakang kios. Wah, ternyata kolam ikannya banyak sekali. Ternyata, Pak Jaya tidak hanya memelihara ikan mas koki, tapi juga ada ikan cupang, ikan koi, ikan arwana, dan masih banyak lagi.
“Nah, kamu bersihkan kolam ini, ya! Yang bersih!” pesan Pak Jaya lalu meninggalkan kami.
Aku mengambil sikat besar yang tergeletak di sudut kolam, lalu mulai menyikati lumut-lumut yang mengotori kolam ikan. “Beni, ayo bantu Kakak!”
“Beni cemberut. “Kakak bohong! Katanya kita kesini untuk membeli ikan. Kok, malah disuruh bekerja.”
“Kamu mau ikan, enggak?” Kalau mau, kita harus bekerja dulu! Kita harus berusaha untuk mendapatkan apa yang kita mau. Jangan cuma bisa menangis!”
Sambil cemberut, Beni akhirnya membantu bekerja. Setengah jam kemudian, kami berdua sudah selesai membersihkan kolam. Pak Jaya datang lagi menghampiri kami.
“Bagus, kolamnya sudah bersih! Ayo, sekarang kalian boleh memilih sepasang ikan mas koki untuk dibawa pulang,” kata Pak Jaya.
Beni gembira sekali. Ia memilih ikan mas koki berwarna merah putih dan hitam putih. Pak Jaya juga member Beni sebungkus makanan ikan.
“ikannya di pelihara dengan baik ya, Beni! Jangan lupa diberi makan! Sampaikan salam Bapak pada papa dan mamamu!” pesan Pak Jaya.
“Loh, Pak Jaya mengenal Papa dan Mama?” tanyaku heran.
Pak Jaya tersenyum. “Papa mama kalian adalah teman Bapak sewaktu SMP dulu. Bahkan waktu SMA, Bapak dan papamu masih satu sekolah.”
“Jadi Pak Jaya sudah tau, kalau kami mau kesini?” Pak Jaya mengangguk. “Iya, tadi mamamu sudah menelepon Bapak.” Ah… Mama! Pantas saja Mama menyuruh aku mengajak Beni ke took ikan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar