I. PENDAHULUAN
Sebelumnya kita sudah dihantam oleh bencana alam, kenaikan harga pangan, kekerasan horizontal yang mengatasnamakan agama, berita wikileaks mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden, dan ingar bingar politik terkait koalisi dan isu perombakan kabinet. Bom buku yang dalam beberapa hari terakhir ini meresahkan masyarakat sekali lagi menjadi faktor tak terduga yang menghambat bangkitnya optimisme publik.
Semua kejadian tersebut membuat klaim-klaim keberhasilan pemerintah berkaitan dengan gerak ekonomi makro tidak mendapatkan resonansi kuat di tengah masyarakat. Terlebih lagi, sejauh ini para politisi secara sepihak cenderung mengklaim bahwa langit Indonesia itu hanya berwarna merah, kuning, hjau dan biru. Warna-warna simbolik yang dipakai sebagai identitas partai. Akibatnya masyarakat merasa partai hanya mengedepankan transaksi daripada keutamaan politik. Tidak ada pembelaan kepada rakyat ketika mereka membutuhkan. Hal ini bisa dilihat misalnya dari miskinnya sikap politik elite ketika sebagian anak bangsa menjadi korban kekerasan atas nama agama.
II. PEMBAHASAN
Menyimak kesigapan Jepang dalam mengatasi terjangan tsunami, lompatan Brazil, India dan Cina dalam pembangunan seharusnya menyadarkan kita bahwa musuh bangsa ini sejatinya bukan anak bangsa sendiri, melainkan bangsa lain. Mereka bergerak cepat membangun pendidikan, mengembangkan penelitian dan teknologi, serta menanamkan nilai-nilai kebanggaan nasional. Mereka juga memproduksi barang dan jasa untuk disebar sebagi benih kekuatan ekonomi dan identitas budaya.
Sehubungan dengan hal itu, seharusnya kita galau dengan kondisi bangsa Indonesia. Sejauh ini percikan-percikan konflik masih membelenggu peri kehidupan kebangsaan dari pusat sampai ke pelosok tanah air. Ini bukan saja mengganggu ikatan-ikatan solidaritas antarkelompok masyarakat sebagai kekayaan purba kita, tetapi juga merusak konsentrasi pemerintah dalam menerapkan kebijakan. Padahal tantangan kedepan secara obyektif pasti semakin berat. Semua bidang berubah cepat dan ekstrim.
Oleh sebab itu terjebak pada sentimen sempit dan kecurigaan berlebihan pada komponen bangsa yang kritis, justru akan membawa Indonesia tertatih-tatih dalam menjaga kelangsungan hidup bangsa. Energi para pemegang kekuasaan lebih baik difokuskan pada upaya menyejahterakan rakyat, bukan pada isu-isu lain, apalagi sekelas gosip seperti rencana kudeta para jenderal purnawirawan. Saat ini saja masih ada 31,2 juta rakyat hidup miskin. Ini jumlah yang relatif masih besar, apalagi kalo angka gelap ikut diperhitungkan.
Persoalan kemiskinan rakyat, pengangguran ,korupsi, dan sederet masalah lain secara prediktif akan semakin kelabu apabila pemerintah salah membaca gerak zaman. Tantangan-tantangan ekstrem seperti perubahan iklim, pergeseran geopolitik, masalah energi, kesehatan, dan bioteknologi, jika tidak diantisipasi dengan sigap oleh pemerintah dapat membuat kita tergulung oleh tantangan-tantangan tersebut. Sekedar contoh dari seriusnya tantangan-tantangan baru tersebut adalah fenomenal gagal panen tahun lalu. Kita telah dihempas mahalnya harga pangan, termasuk cabai, karena perubahan iklim yang ekstrem. Situasi tersebut telah membuat banyak orang jatuh miskin sehingga memicu peningkatan suhu politik nasional. Ini bisa dilihat dari munculnya titik-titik pijar demonstrasi aktivis dan mahasiswa yang merebak dimana-mana.
Jika satu masalah ekstrem saja mempunyai magnitudo konflik yang luar biasa, bagaimana apabila beberapa tantangan ekstrem menghadang sekaligus. Sebagai bangsa tidak tertutup kemungkinan Indonesia bisa benar-benar lumpuh. Identitas, harga diri, dan soliditas kebangsaan yang ditegakkan oleh para pendiri Republik akan layu. Sementara itu kita sibuk memupuk rasa saling curiga di antara sesama anak bangsa.
III. KESIMPULAN
Sejauh ini dipercayai bahwa sikap kritis sejumlah elemen bangsa terhadap pemerintah tak lebih dari wujud kecintaan mereka kepada bangsa dan negara. Harapan mereka sebenarnya sederhana negara hadir ketika ada warga negara yang membutuhkannya.
Jadi lumrah apabila kritik pun mengalir dari segala penjuru karena negara dianggap gagal menjaga langit Indonesia tetap merah putih. Semua itu menyadarkan bahwa lahirnya pemimpin-pemimpin masa depan yang visioner, berpihak kepada rakyat, dan teguh memegang amanat konstitusi adalah tugas mendesak sekarang ini. Mereka adalah para pemimpin yang menjaga langit Indonesia tetap merah putih.