I. PENDAHULUAN
Kekerasan banal di Cikeusik, Pandeglang, Banten, disusul kekerasan di Tumanggung, Jawa Tengah, meninggalkan ingatan kelam pada banyak orang. Juga pertanyaan, mengapa kekerasan yang merenggut nyawa masih terus terjadi dengan mengatasnamakan agama. Ironisnya, sejumlah pelaku kekerasan bukan berasal dari daerah tempat tinggal korban, bahkan ada dugaan kekerasan itu terorganisasi.
Padahal, di akar rumput kerukunan adalah keniscayaan ketika warga berinisiatif membangun dialog terbuka. Seperti telah banyak dilakukan kelompok masyarakat, organisasi dan lainnya di negeri ini. Salah satunya adalah Farha Ciciek di Ledokombo, Jember, Jawa Timur dengan membangun dan mendampingi kelompok belajar masyarakat yang berfokus pada anak usia SD dan SMP yang dikenal dengan Kelompok Belajar Tanoker (Kepompong dalam bahasa Madura) ini mengajak anak-anak mengenal keberagaman budaya sejak dini melalui bermain dan belajar. Kegiatan ini berjalan sekitar dua tahun dan sejauh ini berhasil membangun toleransi.
II. PEMBAHASAN
Untuk menjaga Indonesia yang kodratnya adalah keberagaman, komunitas terbuka harus diajarkan sejak anak-anak. Para pendamping informal maupun guru di sekolah perlu mendapat bekal cara membangun pemahaman keberagaman.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kekurangterampilan guru dan orang tua menjadi penyebab tak berkembangnya kebiasaan menerima perbedaan pada anak-anak. Seorang Ciciek, yang juga peneliti agama dan perubahan social, menemukan dalam penelitiannya sepanjang 2007-2008 di 30 sekolah menengah atas di sejumlah kota di Jawa, menurunnya toleransi atas perbedaan, kepatuhan tanpa nalar, serta tidak menghargai paham kebangsaan justru diajarkan di sekolah melalui pendidikan ekstrakurikuler kerohanian. Cara mengajar dengan menggunakan idiom remaja menyebabkan anak didik tertarik, bahkan lalu mengingkari guru dan menjauhi orang tua.
Banyak masyarakat menyayangkan kekerasan yang terjadi atas nama agama karena pengaruh buruknya bagi anak-anak. Bukan hanya anak akan trauma pada kekerasan itu sendiri, melainkan tanpa penindakan tegas terhadap pelaku kekerasan anak akan belajar kekerasan dibolehkan untuk menghadapi mereka yang berbeda. Yang merisaukan adalah anak-anak akan belajar kebencian kepada yang berbeda. Padahal, Indonesia ada karena tersusun dari yang beragam. Apalagi anak-anak yang komunitasnya menjadi sasaran kekerasan. Selain trauma, mereka juga harus mengungsi dan terisolasi dari temannya. Ingatan itu akan membekas lama dan dalam pada anak-anak.
Bagi perempuan, kekerasan juga berdampak dalam. Bila pada berbagai kejadian kekerasan laki-laki dapat melarikan diri dari kekerasan musuh, perempuan biasanya tinggal karena harus bertanggung jawab terhadap anak-anak dan anggota keluarga lain. Perempuan harus menyembuhkan trauma anak-anak dan dirinya sendiri dan menghadapi stigma yang dilekatkan pada korban.
Sebagai warga Negara, kita harus menyadari bahwa peristiwa di atas merupakan tanggung jawab kita bersama. Untuk menjaga keutuhan Negara-bangsa Indonesia, pentingnya tanggung jawab bersama. Kelompok yang minorotas harus membuka diri, sementara kelompok mayoritas harus merangkul. Perilaku organisasi kemasyarakatan besar saat ini, yang cenderung lebih berpolitik, tidak banyak membantu merekat persatuan bangsa. Organisasi-organisasi besar cenderung melupakan pendidikan kebangsaan pada akar rumput.
Otonomi daerah juga ikut andil menyebabkan ketenggangan dimasyarakat. Rakyat hanya menjadi komoditas politik saat menjelang pilkada, sementara pendidikan politik kewargaan tidak berjalan.
III. KESIMPULAN
Penyerangan terhadap komunitas tertentu karena agama dan keyakinannya selalu berimbas pada perempuan dan anak dalam bentuk marjinalisasi dan kekerasan. Kekerasan massa di tingkat komunal menunjukan kegagalan pemerintah melakukan pencerahan dan pencerdesan terhadap warga Negara. Dengan membiarkan kebodohan, sentiment terhadap identitas agama dan etnis selalu berpotensi dimanfaatkan kepentingan politik pihak tertentu. Disisi lain, hak keberwargaan kelompok yang terpinggirkan akan terus disandera. Di sisi lain dari peristiwa penyerangan yang terjadi di negeri ini dapat kita lihat bagaimana masyarakat sebagai warga negara membela hak mereka atas kerukunan komunitasnya.
Pembahasan di atas adalah pelajaran berharga. Menjaga keutuhan suatu bangsa merupakan tanggung jawab bersama. Seperti yang dilakukan Farha Ciciek di Ledokombo, jember, Jawa Timur dengan membangun dan mendampingi kelompok belajar masyarakat yang berfokus pada anak usia SD dan SMP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar